Selasa, 30 April 2013

EKSISTENSI HAM DALAM SISTEM HUKUM DI INDONESIA

         Hak Asasi Manusia (HAM) adalah seperangkat hak yang melekat kepada setiap orang yang dibawa sejak lahir sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa. Hak-hak tersebut wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh setiap orang atas dasar resiprositas, dan wajib dijamin oleh negara, hukum, dan pemerintah di manapun sebagai perlindungan bagi harkat dan martabat manusia.

     Hak-hak asasi manusia tersebut telah dirumuskan dan dimaklumkan secara formal dalam sebuah Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) dalam suatu sidang Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada 10 Desember tahun 1948. Deklarasi tersebut diakui sebagai standar pengakuan hak-hak asasi manusia dan merupakan rangkaian dari kodifikasi standar hak asasi manusia internasional. Dengan demikian, nilai-nilai hak-hak asasi manusia dalam deklarasi tersebut mengikat kepada seluruh umat manusia dan bagi negara dan pemerintahan di seluruh dunia sebagai anggota PBB.

       Di antara hak-hak yang tercantum dalam deklarasi tersebut adalah hak atas persamaan semua orang, kebebasan dan keamanan bagi setiap orang, kebebasan dari perbudakan, siksaan dan perlakuan yang merendahkan martabat manusia, pengakuan sebagai seorang pribadi di depan hukum mencari keadilan, dan kebebasan untuk berekspresi, berkeyakinan dan beragama serta dalam partisipasi politik. Namun substansi dari nilai-nilai tersebut sesungguhnya telah menjadi dasar keyakinan bagi bangsa Indonesia jauh sebelum nilai-nilai itu sendiri dirumuskan dan dideklarasikan oleh PBB tersebut. Nilai-nilai itu telah mendasari berdirinya negara Republik Indonesia (RI) yang nilai substansinya telah terumuskan dalam konstitusi Republik Indonesia UUD 1945. Sejarah Konstitusi Indonesia yang sempat berganti-ganti seperti UUD Sementara (15 Agustus 1950 sampai dengan 5 Juli 1959) bahkan lebih tegas pasal-pasalnya mengenai hak-hak asasi manusia. Demikian juga di dalam rangkaian amandemen UUD 1945 dalam rentang masa reformasi, pasal-pasal yang memuat nilai-nilai hak asasi manusia demikian tegas dan meliputi.

           Dengan demikian, tidak ada kesenjangan nilai dan hukum bagi bangsa Indonesia dan negara Republik Indonesia terhadap keseluruhan DUHAM. Meski demikian, sebagaimana juga implementasi kongkrit dari pasal-pasal di dalam DUHAM memerlukan waktu dan rincian lebih lanjut dalam pelaksanaannya, demikian pula implementasinya dalam masyarakat dan tugas negara dan pemerintahan Republik Indonesia. Kenyataan sejarah perkembangan masyarakat dan perubahan politik di Indonesia, maka implementasi dari nilai-nilai DUHAM juga memerlukan waktu dan tahapan, serta perubahan prioritas dari waktu ke waktu.

      Namun, dengan telah diratifikasinya kovenan dan konvensi serta instrumen PBB lainnya bagi pelaksanaan nilai-nilai DUHAM dalam sistem hukum Indonesia, maka keseluruhan pelaksanaannya mengikat secara hukum bagi bangsa dan negara Repubik Indonesia. Kovenan dan konvensi yang sudah diratifikasi di antaranya adalah CEDAW (Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women) yang diratifikasi melalui UU No. 7 Tahun 1984; ECOSOC (International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights) melalui UU no. 11 Tahun 2005; dan ICCPR (International Covenant on Civil and Political Rights) melalui UU No. 12 Tahun 2005.
Bahkan untuk pelaksanaan dan jaminan bagi tegaknya HAM, Pemerintah Indonesia sendiri melalui Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah memberlakukan dua Undang-undang penting bagi pelaksanaan HAM, yaitu UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak-Hak Asasi Manusia dan UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Dua undang-undang tersebut pada hakekatnya merupakan jawaban atas tuntutan dan perkembangan jaman pada saat itu, namun demikian ia menjadi jaminan bagi tegaknya dan mencegah terjadinya kembali pelanggaran HAM di masa mendatang.

          Perjalanan bangsa Indonesia pasca reformasi juga telah membawa tantangan baru bagi kecenderungan terjadinya pelanggaran HAM dan karena itu juga menempatkan prioritas tertentu bagi penegakannya. Misalnya, di masa pemerintahan Orde Baru yang otoritarian, maka prioritas penegakan HAM berada pada lingkup hak-hak sipil dan politik. Pelanggaran HAM saat itu banyak dilakukan oleh aparat pemerintah secara langsung kepada rakyat. Lahirnya dua UU yang disebut di atas, yaitu UU tentang Hak-hak Asasi Manusia dimana pengukuhan Komisi Hak Asasi Manusia (KOMNASHAM) ada di dalamnya dan UU tentang Pengadilan HAM berada dalam konteks demikian.

         Sementara kedua UU tersebut harus tetap dipertahakan dan terus diperkuat fungsinya sebagai jaminan atas tegaknya HAM dan mencegah tidak terulangnya kembali pelanggaran HAM. Maka kini tantangan utama bukan lagi oleh aparat pemerintah secara langsung yang menyangkut hak-hak sipil dan politik melainkan lebih pada tantangan hak asasi manusia dalam lingkup Ekonomi, Sosial dan Budaya (EKOSOB). Meski demikian harus segera ditegaskan dengan tetap tidak mengabaikan pelanggaran HAM dalam lingkup Sipil dan Politik.
Misalnya, pelanggaran HAM oleh aparat negara saat ini lebih banyak terjadi pada lingkup hak-hak ekonomi dan kepemilikan. Penggusuran tempat dagang yang mengancam mematikan kesempatan ekonomi, harga pendidikan yang melambung tinggi yang menutup kesempatan memperoleh pendidikan yang layak bagi kaum miskin, penggusuran hak-hak atas tanah untuk kepentingan modal --untuk menyebut beberapa kecenderungan. Sedangkan untuk mendirikan partai politik dan mendirikan organisasi lainnya, menggunakan hak pilih dalam pemilihan umum dan untuk menyampaikan pendapat di muka umum, hampir tidak ada halangan yang berarti.

      Kecenderungan pelanggaran HAM lain yang tidak kalah penting saat ini adalah menyangkut hak berkeyakinan dan beragama, serta diskriminasi terhadap minoritas. Hal ini banyak dilakukan oleh sekelompok masyarakat untuk melakukan pemaksaan, kekerasan dan ancaman bagi sekelompok orang yang memiliki keyakinan atau kepemelukan agama tertentu yang tidak disetujui oleh kelompok lain. Meskipun hal itu dilakukan oleh sekelompok masyarakat yang seharusnya tidak boleh dilakukan karena melanggar HAM atas dasar resiprositas, tetapi adalah kewajiban negara dan aparatnya untuk melindungi mereka yang menjadi korban pelanggaran HAM.
      
        Ada kecenderungan aparat negara melakukan pengabaian terhadap kewajiban tersebut (by omission), baik karena ketidakmampuannya maupun karena kesetujuannya atas perlakuan tersebut sehingga melalaikan tugasnya sebagai aparat negara untuk melindungi setiap warga negara dari pelanggaran HAM. Tidak boleh dilupakan pula adanya sejumlah undang-undang, peraturan atau rancangan perundang-undangan dan aturan tertentu serta kebijakan dari aparat negara yang sering bertentangan dan melanggar hak asasi manusia atau potensial bagi dilanggarnya HAM.

      Dengan demikian, meskipun sejumlah UU yang melingkupi hak asasi manusia, seperti UU tentang ratifikasi sejumlah instrumen HAM maupun UU tentang pelaksanaan dan perlindungan HAM secara langsung seperti disebutkan di atas menjadi landasan penting bagi penegakan HAM lebih lanjut, tetapi dengan perubahan masyarakat dan tantangan baru, maka diperlukan kontekstualisasi dan skala prioritas baru.
Kecenderungan penyerangan dan kekerasan bahkan pengusiran oleh sekelompok orang kepada kelompok lain dengan alasan karena melanggar keyakinan mainstream dan melanggar kepercayaan tertentu harus menjadi perhatian karena itu adalah salah satu bentuk pelanggaran HAM. Ini mungkin bisa dilakukan dengan cara pemantauan yang intensif dan cepat, serta pendidikan tentang relasi positif antara nilai-nilai agama dan tradisi dengan HAM dan kewajiban bagi semua orang untuk menghormatinya.

      Sebagai bagian dari perlindungan HAM, maka pelaksanaan dari kegiatan-kegiatan demikian harus didukung oleh pemerintah. Kegiatan demikian juga harus melibatkan seluas mungkin pemimpin agama, tokoh-tokoh tradisi dan masyarakat. Jangan lupa bahwa tokoh-tokoh agama, tradisi dan masyarakat baik secara sendiri-sendiri maupun bergabung dalam sebuah organisasi, swasta maupun pemerintah dan semi pemerintah sering terlibat langsung maupun tidak langsung dalam pelanggaran HAM semacam ini. Misalnya dengan mengeluarkan pendapat tertentu yang dilegitimasi dengan dalil agama atau kepercayaan tertentu dengan menuduh kelompok lain sebagai sesat dan boleh dihilangkan eksistensinya. Pendapat demikian seringkali menjadi dorongan bagi sekelompok orang untuk melakukan pelanggaran tersebut atau mengundang intervensi negara untuk melarangnya.Demikian juga kelambanan dan kelemahan aparat negara dalam melindungi korban pelanggaran HAM semacam itu, sungguh harus mendapatkan perhatian serius. Karena sesungguhnya aparat negaralah yang memiliki legitimasi hukum untuk menghentikan aksi-aksi demikian dan melindungi pihak korban. Sedangkan masyarakat wajib pula partisipasi dan mendorong aparat pemerintah untuk melakukannya. Jika diperlukan, maka bukan tidak mungkin perlu adanya aturan khusus yang memuat sangsi bagi aparat yang tidak mampu atau membiarkan atau mengabaikan tugas bagi pencegahan aksi-aksi demikian, dan sebaliknya dimungkinkan pula adanya penghargaan bagi mereka yang benar-benar berprestasi melakukan pencegahan.

         Hal lain yang penting untuk dilakukan adalah review terhadap sejumlah perundang-undangan dan aturan yang melanggar HAM semisal memuat unsur-unsur diskriminasi di dalamnya dan rancangan sejumlah perundang-undangan dan aturan yang potensial bagi terjadinya pelangaran HAM. Contoh yang paling lugas adalah UU tentang Administrasi Kependudukan yang baru ditetapkan DPR beberapa minggu lalu (8/12), yaitu UU tentang “Administrasi Kependudukan.” Beberapa pasal dalam UU itu (ps 8 ayat 4; ps 61, ayat 2; ps 64 ayat 2, misalnya) potensial bagi terjadinya diskriminasi pelayanan terhadap warga negara, bahkan mungkin ia menjadi aturan formal pertama yang bersifat diskriminatif, yaitu secara eskplisit membedakan agama yang diakui dan agama yang tidak diakui negara dan aliran kepercayaan.

         Contoh rancangan perundang-undangan dan aturan adalah RKUHP (Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana), terutama Bab dan pasal-pasal tentang agama dan kehidupan beragama. Pengembangan pasal penodaan agama dari satu pasal dalam KUHP, yaitu pasal 156a menjadi 8 pasal dalam RKUHP, dengan melihat kecenderungan aksi-aksi kekerasan mutakhir sungguh potensial meluasnya gejala demikian. Sangat penting mengkaji pasal-pasal tersebut dari perspektif HAM sebelum menjadi UU yang akan lebih sulit untuk mereviewnya kembali.

           Hal yang sama pentingnya juga untuk dilakukan review adalah menjamurnya aturan-aturan daerah atau Perda yang potensial melanggar HAM. Seperti Perda-perda yang cenderung membatasi kebebasan berekspresi, kebebasan berkeyakinan dan beragama serta potensial bagi terjadinya pelayanan diskriminatif oleh aparat negara kepada semua warga negara berdasarkan jenis kelamin, agama, keyakinan, atau kelompok. Perda-perda yang memuat pasal-pasal demikian harus menjadi perhatian dalam konteks penegakan HAM, dan tidak hanya diserahkan kepada lembaga-lembaga politik dan pemerintah semata.
Mungkin diperlukan inisiatif dalam perspektif penegakan HAM tentang adanya aturan perlindungan terhadap kelompok rentan dan lemah, seperti misalnya perempuan, kaum miskin dan buruh serta ekonomi sektor informal pada umumnya. Ini terutama ditujukan bagi jaminan HAM yang menyangkut EKOSOB. Aturan-aturan tersebut tidak hanya untuk melindungi mereka melainkan memberi sanksi bagi mereka yang melanggarnya dan memperlakukan mereka sebagai melanggar HAM.*** 

referensi :  http://www.wahidinstitute.org/Programs/Detail/?id=156/hl=id/Hak_Asasi_Manusia_Dan_Prioritas_Penegakannya_Di_Indonesia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar