Hak-hak asasi manusia tersebut telah
dirumuskan dan dimaklumkan secara formal dalam sebuah Deklarasi
Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) dalam suatu sidang Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB) pada 10 Desember tahun 1948. Deklarasi tersebut
diakui sebagai standar pengakuan hak-hak asasi manusia dan merupakan
rangkaian dari kodifikasi standar hak asasi manusia internasional.
Dengan demikian, nilai-nilai hak-hak asasi manusia dalam deklarasi
tersebut mengikat kepada seluruh umat manusia dan bagi negara dan
pemerintahan di seluruh dunia sebagai anggota PBB.
Di antara hak-hak yang tercantum dalam
deklarasi tersebut adalah hak atas persamaan semua orang, kebebasan dan
keamanan bagi setiap orang, kebebasan dari perbudakan, siksaan dan
perlakuan yang merendahkan martabat manusia, pengakuan sebagai seorang
pribadi di depan hukum mencari keadilan, dan kebebasan untuk
berekspresi, berkeyakinan dan beragama serta dalam partisipasi politik. Namun substansi dari nilai-nilai
tersebut sesungguhnya telah menjadi dasar keyakinan bagi bangsa
Indonesia jauh sebelum nilai-nilai itu sendiri dirumuskan dan
dideklarasikan oleh PBB tersebut. Nilai-nilai itu telah mendasari
berdirinya negara Republik Indonesia (RI) yang nilai substansinya telah
terumuskan dalam konstitusi Republik Indonesia UUD 1945. Sejarah
Konstitusi Indonesia yang sempat berganti-ganti seperti UUD Sementara
(15 Agustus 1950 sampai dengan 5 Juli 1959) bahkan lebih tegas
pasal-pasalnya mengenai hak-hak asasi manusia. Demikian juga di dalam
rangkaian amandemen UUD 1945 dalam rentang masa reformasi, pasal-pasal
yang memuat nilai-nilai hak asasi manusia demikian tegas dan meliputi.
Dengan demikian, tidak ada kesenjangan
nilai dan hukum bagi bangsa Indonesia dan negara Republik Indonesia
terhadap keseluruhan DUHAM. Meski demikian, sebagaimana juga
implementasi kongkrit dari pasal-pasal di dalam DUHAM memerlukan waktu
dan rincian lebih lanjut dalam pelaksanaannya, demikian pula
implementasinya dalam masyarakat dan tugas negara dan pemerintahan
Republik Indonesia. Kenyataan sejarah perkembangan masyarakat dan
perubahan politik di Indonesia, maka implementasi dari nilai-nilai DUHAM
juga memerlukan waktu dan tahapan, serta perubahan prioritas dari waktu
ke waktu.
Namun, dengan telah diratifikasinya
kovenan dan konvensi serta instrumen PBB lainnya bagi pelaksanaan
nilai-nilai DUHAM dalam sistem hukum Indonesia, maka keseluruhan
pelaksanaannya mengikat secara hukum bagi bangsa dan negara Repubik
Indonesia. Kovenan dan konvensi yang sudah diratifikasi di antaranya
adalah CEDAW (Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women) yang diratifikasi melalui UU No. 7 Tahun 1984; ECOSOC (International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights) melalui UU no. 11 Tahun 2005; dan ICCPR (International Covenant on Civil and Political Rights) melalui UU No. 12 Tahun 2005.
Bahkan untuk pelaksanaan dan jaminan
bagi tegaknya HAM, Pemerintah Indonesia sendiri melalui Dewan Perwakilan
Rakyat (DPR) telah memberlakukan dua Undang-undang penting bagi
pelaksanaan HAM, yaitu UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak-Hak Asasi
Manusia dan UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Dua
undang-undang tersebut pada hakekatnya merupakan jawaban atas tuntutan
dan perkembangan jaman pada saat itu, namun demikian ia menjadi jaminan
bagi tegaknya dan mencegah terjadinya kembali pelanggaran HAM di masa
mendatang.
Perjalanan bangsa Indonesia pasca
reformasi juga telah membawa tantangan baru bagi kecenderungan
terjadinya pelanggaran HAM dan karena itu juga menempatkan prioritas
tertentu bagi penegakannya. Misalnya, di masa pemerintahan Orde Baru
yang otoritarian, maka prioritas penegakan HAM berada pada lingkup
hak-hak sipil dan politik. Pelanggaran HAM saat itu banyak dilakukan
oleh aparat pemerintah secara langsung kepada rakyat. Lahirnya dua UU
yang disebut di atas, yaitu UU tentang Hak-hak Asasi Manusia dimana
pengukuhan Komisi Hak Asasi Manusia (KOMNASHAM) ada di dalamnya dan UU
tentang Pengadilan HAM berada dalam konteks demikian.
Sementara kedua UU tersebut harus
tetap dipertahakan dan terus diperkuat fungsinya sebagai jaminan atas
tegaknya HAM dan mencegah tidak terulangnya kembali pelanggaran HAM.
Maka kini tantangan utama bukan lagi oleh aparat pemerintah secara
langsung yang menyangkut hak-hak sipil dan politik melainkan lebih pada
tantangan hak asasi manusia dalam lingkup Ekonomi, Sosial dan Budaya
(EKOSOB). Meski demikian harus segera ditegaskan dengan tetap tidak
mengabaikan pelanggaran HAM dalam lingkup Sipil dan Politik.
Misalnya, pelanggaran HAM oleh aparat
negara saat ini lebih banyak terjadi pada lingkup hak-hak ekonomi dan
kepemilikan. Penggusuran tempat dagang yang mengancam mematikan
kesempatan ekonomi, harga pendidikan yang melambung tinggi yang menutup
kesempatan memperoleh pendidikan yang layak bagi kaum miskin,
penggusuran hak-hak atas tanah untuk kepentingan modal --untuk menyebut
beberapa kecenderungan. Sedangkan untuk mendirikan partai politik dan
mendirikan organisasi lainnya, menggunakan hak pilih dalam pemilihan
umum dan untuk menyampaikan pendapat di muka umum, hampir tidak ada
halangan yang berarti.
Kecenderungan pelanggaran HAM lain
yang tidak kalah penting saat ini adalah menyangkut hak berkeyakinan dan
beragama, serta diskriminasi terhadap minoritas. Hal ini banyak
dilakukan oleh sekelompok masyarakat untuk melakukan pemaksaan,
kekerasan dan ancaman bagi sekelompok orang yang memiliki keyakinan atau
kepemelukan agama tertentu yang tidak disetujui oleh kelompok lain.
Meskipun hal itu dilakukan oleh sekelompok masyarakat yang seharusnya
tidak boleh dilakukan karena melanggar HAM atas dasar resiprositas,
tetapi adalah kewajiban negara dan aparatnya untuk melindungi mereka
yang menjadi korban pelanggaran HAM.
Ada kecenderungan aparat negara melakukan pengabaian terhadap kewajiban tersebut (by omission),
baik karena ketidakmampuannya maupun karena kesetujuannya atas
perlakuan tersebut sehingga melalaikan tugasnya sebagai aparat negara
untuk melindungi setiap warga negara dari pelanggaran HAM. Tidak boleh
dilupakan pula adanya sejumlah undang-undang, peraturan atau rancangan
perundang-undangan dan aturan tertentu serta kebijakan dari aparat
negara yang sering bertentangan dan melanggar hak asasi manusia atau
potensial bagi dilanggarnya HAM.
Dengan demikian, meskipun sejumlah UU
yang melingkupi hak asasi manusia, seperti UU tentang ratifikasi
sejumlah instrumen HAM maupun UU tentang pelaksanaan dan perlindungan
HAM secara langsung seperti disebutkan di atas menjadi landasan penting
bagi penegakan HAM lebih lanjut, tetapi dengan perubahan masyarakat dan
tantangan baru, maka diperlukan kontekstualisasi dan skala prioritas
baru.
Kecenderungan penyerangan dan
kekerasan bahkan pengusiran oleh sekelompok orang kepada kelompok lain
dengan alasan karena melanggar keyakinan mainstream dan
melanggar kepercayaan tertentu harus menjadi perhatian karena itu adalah
salah satu bentuk pelanggaran HAM. Ini mungkin bisa dilakukan dengan
cara pemantauan yang intensif dan cepat, serta pendidikan tentang relasi
positif antara nilai-nilai agama dan tradisi dengan HAM dan kewajiban
bagi semua orang untuk menghormatinya.
Sebagai bagian dari perlindungan HAM,
maka pelaksanaan dari kegiatan-kegiatan demikian harus didukung oleh
pemerintah. Kegiatan demikian juga harus melibatkan seluas mungkin
pemimpin agama, tokoh-tokoh tradisi dan masyarakat. Jangan lupa bahwa
tokoh-tokoh agama, tradisi dan masyarakat baik secara sendiri-sendiri
maupun bergabung dalam sebuah organisasi, swasta maupun pemerintah dan
semi pemerintah sering terlibat langsung maupun tidak langsung dalam
pelanggaran HAM semacam ini. Misalnya dengan mengeluarkan pendapat
tertentu yang dilegitimasi dengan dalil agama atau kepercayaan tertentu
dengan menuduh kelompok lain sebagai sesat dan boleh dihilangkan
eksistensinya. Pendapat demikian seringkali menjadi dorongan bagi
sekelompok orang untuk melakukan pelanggaran tersebut atau mengundang
intervensi negara untuk melarangnya.Demikian juga kelambanan dan kelemahan
aparat negara dalam melindungi korban pelanggaran HAM semacam itu,
sungguh harus mendapatkan perhatian serius. Karena sesungguhnya aparat
negaralah yang memiliki legitimasi hukum untuk menghentikan aksi-aksi
demikian dan melindungi pihak korban. Sedangkan masyarakat wajib pula
partisipasi dan mendorong aparat pemerintah untuk melakukannya. Jika
diperlukan, maka bukan tidak mungkin perlu adanya aturan khusus yang
memuat sangsi bagi aparat yang tidak mampu atau membiarkan atau
mengabaikan tugas bagi pencegahan aksi-aksi demikian, dan sebaliknya
dimungkinkan pula adanya penghargaan bagi mereka yang benar-benar
berprestasi melakukan pencegahan.
Hal lain yang penting untuk dilakukan adalah review
terhadap sejumlah perundang-undangan dan aturan yang melanggar HAM
semisal memuat unsur-unsur diskriminasi di dalamnya dan rancangan
sejumlah perundang-undangan dan aturan yang potensial bagi terjadinya
pelangaran HAM. Contoh yang paling lugas adalah UU tentang Administrasi
Kependudukan yang baru ditetapkan DPR beberapa minggu lalu (8/12), yaitu
UU tentang “Administrasi Kependudukan.” Beberapa pasal dalam UU itu (ps
8 ayat 4; ps 61, ayat 2; ps 64 ayat 2, misalnya) potensial bagi
terjadinya diskriminasi pelayanan terhadap warga negara, bahkan mungkin
ia menjadi aturan formal pertama yang bersifat diskriminatif, yaitu
secara eskplisit membedakan agama yang diakui dan agama yang tidak
diakui negara dan aliran kepercayaan.
Contoh rancangan perundang-undangan
dan aturan adalah RKUHP (Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana),
terutama Bab dan pasal-pasal tentang agama dan kehidupan beragama.
Pengembangan pasal penodaan agama dari satu pasal dalam KUHP, yaitu
pasal 156a menjadi 8 pasal dalam RKUHP, dengan melihat kecenderungan
aksi-aksi kekerasan mutakhir sungguh potensial meluasnya gejala
demikian. Sangat penting mengkaji pasal-pasal tersebut dari perspektif
HAM sebelum menjadi UU yang akan lebih sulit untuk mereviewnya kembali.
Hal yang sama pentingnya juga untuk
dilakukan review adalah menjamurnya aturan-aturan daerah atau Perda yang
potensial melanggar HAM. Seperti Perda-perda yang cenderung membatasi
kebebasan berekspresi, kebebasan berkeyakinan dan beragama serta
potensial bagi terjadinya pelayanan diskriminatif oleh aparat negara
kepada semua warga negara berdasarkan jenis kelamin, agama, keyakinan,
atau kelompok. Perda-perda yang memuat pasal-pasal demikian harus
menjadi perhatian dalam konteks penegakan HAM, dan tidak hanya
diserahkan kepada lembaga-lembaga politik dan pemerintah semata.
Mungkin diperlukan inisiatif dalam
perspektif penegakan HAM tentang adanya aturan perlindungan terhadap
kelompok rentan dan lemah, seperti misalnya perempuan, kaum miskin dan
buruh serta ekonomi sektor informal pada umumnya. Ini terutama ditujukan
bagi jaminan HAM yang menyangkut EKOSOB. Aturan-aturan tersebut tidak
hanya untuk melindungi mereka melainkan memberi sanksi bagi mereka yang
melanggarnya dan memperlakukan mereka sebagai melanggar HAM.***
referensi : http://www.wahidinstitute.org/Programs/Detail/?id=156/hl=id/Hak_Asasi_Manusia_Dan_Prioritas_Penegakannya_Di_Indonesia